Sabtu, 05 Maret 2011

Cara Pandang terhadap Pancasila


Cara Pandang Baru Terhadap Pancasila
Saya telah menunjukkan bahwa problem ideologi Pancasila, yang terlihat pada menguatnya kekuasaan negara yang otoritarian, berhubungan dengan kenyataan bahwa Pancasila telah berkembang menjadi doktrin yang komprehensif. Doktrin yang komprehensif merujuk pada sistem ajaran yang berlaku untuk semua subyek dan kebajikan dari ajaran ini mencakup seluruh kehidupan (bandingkan, Rawls, 1996, p. xxxviii). Jadi semua doktrin yang komprehensif memiliki dua ciri penting; pertama, ia berlaku menyeluruh, dan kedua, tidak ada kebenaran lain di luar sebuah doktrin yang komprehensif yang diyakini.
Bukan pada tempatnya di sini menjelaskan mengapa dan bagaimana Pancasila berkembang menjadi sebuah doktrin yang komprehensif, meskipun barangkali perkembangan ini bisa ditelusuri sejak awal proses perumusan Pancasila, ketika identitas nasional dianggap sebagai sesuatu yang unik, seperti terlihat pada idea tentang negara integralistis yang dirumuskan Soepomo dan kemudian juga dikembangkan dengan cara tertentu baik dalam rezim Soekarno maupun Suharto (lihat, Bourchier,
1996). Terlepas dari masalah ini, jelas ada hubungan antara doktrin yang komprehensif dan penggunaan kekuasaan negara yang bersifat memaksa. Nampaknya memang bisa diterima bahwa jika sebuah masyarakat menegaskan secara bersama-sama salah satu doktrin moral, kefilsafatan atau keagamaan yang komprehensif, maka untuk bisa mempertahankan doktrin komprehensif itu secara terus menerus dibutuhkan penggunaan kekuataan memaksa (opresi) dari kekuasaan negara. Rawls menunjukkan satu contoh,
Pada masyarakat Barat abad pertengahan yang kurang lebih disatukan oleh kepercayaan Katolik, inkuisi bukan sesuatu yang kebetulan; dan usaha mempertahankan kepercayaan agama Katolik pada masa itu menuntut perlunya penindasan terhadap bid’ah, begitu juga sangsi kekuasaan negara juga dibutuhkan untuk bisa mempertahankan masyarakat yang memeluk doktrin komprehensif yang sekuler (non-keagamaan) seperti masyarakat yang disatukan oleh bentuk utilitarianisme atau liberalisme yang dikembangkan Immanuel Kant
dan John Stuart Mill (1997, p. 274).
Ini tidak berarti bahwa kita harus menolak doktrin-doktrin yang komprehensif yang hidup dalam masyarakat kita. Justru dalam semua masyarakat yang majemuk dan demokratis, keberadaan doktrin-doktrin yang komprehensif (baik moral, kefilsafatan maupun keagamaan) sudah menjadi fakta umum yang harus diterima. ’Fakta pluralisme’ (the fact of pluralism) ini merupakan ciri permanen dari kebudayaan publik yang demokratis, bukan semata-mata kondisi historis yang kemudian akan sirna (Rawls, 1996, 1997). Maka, yang menjadi masalah bukan bagaimana meniadakan doktrindoktrin yang komprehensif itu, sebab justru dalam kondisi sosial dan politik yang melindungi kebebasan dan hak-hak dasar, keragaman dari doktrin-doktrin komprehensif yang bertentangan akan muncul dan bertambah. Masalahnya adalah bagaimana sebuah ideologi negara dikembangkan dalam sebuah masyarakat demokratis yang modern dan majemuk yang ditandai adanya ’fakta pluralisme’ yang terlihat dalam berbagai bentuk doktrin moral, kefilsafatan dan keagamaan yang berbeda-beda? Yang diperlukan adalah sebuah ajaran yang dapat didukung oleh kemajemukan dari berbagai doktrin moral, kefilsafatan, dan keagamaan yang komprehensif, masing-masing dari sudut pandangnya sendiri.
Hal itu hanyalah merupakan indikasi awal dari cara pandang baru yang perlu kita pertimbangkan, dan kita perlu melihat bagaimana Pancasila sendiri telah dipahami para pendukungnya. Sejarah mencatat, sebagaimana dituturkan Nasution, bahwa dalam Konstituante terdapat dua kelompok ‘Pendukung Pancasila’ (dikutip dari Ramage 1995, p. 18); Pertama melihat Pancasila sebagai forum, titik pertemuan bagi seluruh kelompok dan partai yang berbeda-beda, sebuah common denominator dari semua ideologi dan aliran pemikiran yang ada di Indonesia. Versi pandangan ini dipertahankan oleh PNI, PKI dan partai-partai Kristen dan Katolik. Dengan kata lain, kelompok ini melihat Pancasila dalam pengertian asli sebagai sebuah kompromi politik. Kedua, menurut Nasution, adalah yang menekankan Pancasila sebagai ideologi satu-satunya yang menjamin kesatuan nasional dan cocok dengan kepribadian Indonesia, dan karena itu menjadi landasan yang sesuai bagi dasar Negara Indonesia. Menurut Nasution, pandangan ini hanya didukung oleh sebagian kecil anggota Konstituante termasuk Prof. Soepomo, penggagas idea Integralisme.
Contoh ini menjelaskan dua cara pandang tentang Pancasila, dan dapat dipergunakan untuk memahami apakah Pancasila harus diterima sebagai konsepsi politis ataukah sebagai doktrin yang komprehensif. Jika alasan pengertian Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif harus ditolak, maka pilihannya adalah menerima Pancasila sebagai konsepsi politis. Namun, penting dicatat bahwa pengertian Pancasila sebagai konsepsi politis tidak identik dengan pemahaman Pancasila sebagai kesepakatan politik (political agreement), kontrak sosial, atau forum atau common denominator, (meskipun pemahaman Pancasila sebagai forum atau common denominator merupakan bagian dari Pancasila sebagai konsepsi politis), dan pengertian Pancasila sebagai konsepsi politis juga tidak berarti menolak Pancasila sebagai dasar negara.
Maka, apakah Pancasila sebagai konsepsi politis? Pancasila sebagai konsepsi politis merupakan rumpun dari nilai (moral) yang memperkuat Pancasila pada status sebagai dasar negara, dan merupakan cara pandang yang mempertimbangkan ciri khusus hubungan politik, yang memang dan harus dibedakan dari jenis hubungan yang lain. Hubungan politik memiliki sedikitnya dua ciri yang penting:

Pertama, hubungan politis merupakan hubungan diantara orang dalam struktur dasar masyarakat…Kedua, kekuasaan politis yang dijalankan dalam hubungan politis selalu merupakan kekuasaan yang koersif, didukung oleh perlengkapan negara dalam memaksakan hukum-hukumnya… ” (dikutip dari Rawls, 1997, p.277-8)
Pancasila sebagai konsepsi politis, karena itu, memiliki wilayah (domain) yang terbatas, yaitu domain politis, yang dapat diindentifikasi oleh ciri-ciri hubungan politik itu. Pemahaman demikian akan menyarankan bahwa Pancasila sebagai konsepsi politis harus dibedakan dari wilayah asosiasi, yang memang bersifat sukarela, dan harus dibedakan dari kehidupan pribadi (privat) atau keluarga, yang merupakan wilayah kasih sayang. Dengan mengambil pengertian ‘yang politis’ sebagai domain Pancasila, konsepsi politis menerima prinsip-prinsip Pancasila sebagai satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dan merupakan ’pandangan yang berdiri sendiri’ (free standing view). Prinsip-prinsip ini membentuk pandangan tentang negara, tetapi pandangan ini dibentuk secara independen dari nilai-nilai yang bersifat non-politis atau dengan setiap hubungan khusus dengan yang non-politis itu.
Maka, sebagai sebuah konsepsi politis, Pancasila tidak menyangkal nilai-nilai atau paham lain yang berlaku pada asosiasi (keagamaan, universitas, LSM dsb), keluarga, atau orang per-orang; Pancasila sebagai konsepsi politis juga tidak mengatakan bahwa pengertian yang (bersifat) politis sama sekali terpisah dari semua nilai atau paham lain yang ada dalam masyarakat. Tujuan menempatkan Pancasila dalam domain politis ini, tentu saja, adalah untuk menentukan bahwa institusi dan struktur kenegaraan dapat memperoleh dukungan dari konsensus yang saling melengkapi (overlapping consensus) diantara berbagai aktor politik dan kekuasaan sosial, sebagaimana nampak dan pernah terjadi pada penerimaan Pancasila sebagai ‘titik temu’ (common denominator) dari semua ideologi dan aliran pemikiran yang ada di Indonesia.
Dalam diskusi sering timbul kesalahpahaman tentang pengertian Pancasila sebagai konsepsi politis. Pertama, Pancasila sebagai konsepsi politis tidak identik dengan Pancasila sebagai konsensus politik, sebuah pengertian yang oleh Onghokham juga dipergunakan sebagai justifikasi untuk menyebut Pancasila sebagai kontrak sosial (Kompas, 6 Desember 2001). Pancasila sebagai konsepsi politis lebih dari sekadar konsensus politik, karena mewakili rumpun dari nilai-nilai (moral) politik yang berbeda dengan Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif. Menurut saya, Pancasila juga tidak tepat disebut sebagai kontrak sosial, bukan hanya karena teori kontrak sosial sendiri problematis, tetapi juga pembentukan Pancasila sama sekali tidak memenuhi syarat-syarat kontrak sosial.
Kedua, hubungan antara tindakan privat (non-politis) dan tindakan publik (politis) dalam konteks Pancasila sebagai konsepsi politis perlu mendapat penjelasan tersendiri. Karena Pancasila sebagai konsepsi politis membatasi domain Pancasila hanya pada hubungan-hubungan politis, maka Pancasila hanya berlaku pada struktur dasar dari kehidupan kenegaraan, yaitu lembaga-lembaga politik, ekonomi dan sosial sebagai kesatuan skema kerjasama dalam hidup berbangsa dan bernegara. Jikapun Pancasila berlaku pada individu, maka ini hanya dalam kapasitas publik sebagai warga negara, bukan dalam kapasitas privat mereka sebagai individu dengan konsepsi kebaikan komprehensif mereka sendiri. Untuk memperjelas hal ini, saya ingin menunjukkan sebuah ilustrasi dengan mengutip pertanyaan yang diajukan oleh Sidney Hook (Hook, 1976, p. 78) bahwa ’‘sekiranya ada orang Indonesia berkata: saya tidak percaya bahwa benda ada, saya kira hanya jiwa yang ada’, maka apa pengaruh dari konsepsi metafisika realitas terakhir itu atas tingkah laku politik dan dapatkah dia merupakan seorang Indonesia yang baik sebagaimana orang lain yang mempunyai
kepercayaan bahwa bendalah yang merupakan realitas terakhir’’? Pancasila sebagai konsepsi politis mudah menjawab pertanyaan ini, karena setiap individu (atau sesungguhnya juga semua asosiasi (keagamaan, universitas dan LSM dsb), maupun kehidupan keluarga) harus dibiarkan bebas memiliki konsepsinya sendiri tentang kebaikan itu. Pancasila sebagai konsepsi politis, karena itu, memang dimaksudkan untuk menghindarkan Pancasila terbawa pada kontroversi yang dalam dan yang memang selalu ada dalam filsafat dan agama, serta dalam cakupan teori-teori moral yang luas yang diharapkan berlaku pada individu maupun lembaga.
Ketiga, sering juga dipertanyakan bagaimana kemudian kesepakatan atau konsensus dalam hal-hal fundamental dalam kehidupan bernegara tercapai. Pertanyaan ini muncul karena meskipun mudah menegaskan bahwa Pancasila sebagai konsepsi politis akan memperkuat status Pancasila sebagai dasar negara, tetapi selalu terdapat kemungkinan alternatif pilihan bagi kebijakan yang menentukan bentuk tatanan politik, sosial dan ekonomi yang berbeda. Di sini, saya hanya bisa mengutip pendapat yang membedakan dua cara untuk mencapai pemahaman bersama dan untuk menciptakan
sintesis yang diterima semua warga negara; pertama, adalah konsensus meta-ontologis, yang terdiri dari pengakuan atas konsensus yang terbukti secara keilmuan, dan kedua, konsensus melalui diskursus rasional, yang terdiri dari kesepakatan berkenaan dengan ‘makna dan pengertian dari semua pandangan dunia yang berlainan’ (Jankowski, 2003, p. 168). Tetapi karena dalam menghadapi isu-isu yang pelik dan kontroversial selalu ada beban-penalaran (the burden of reason), yaitu batas kemampuan manusia untuk menilai kebenaran dan kesimpulan dari berbagai pandangan yang saling bertentangan, maka jelas tidak ada cara untuk membuktikan bahwa yang paling masuk adalah mengadopsi doktrin yang komprehensif yang satu atau doktrin komprehensif yang lain. Hal ini akan berarti bahwa, dalam konteks menentukan berbagai pilihan kebijakan, Pancasila sebagai konsepsi politis tidak mungkin mengabsolutkan sebuah pilihan kebijakan hanya berdasarkan pada salah satu filsafat sosial, melainkan harus membuka diri pada berbagai ragam dan jenis filsafat sosial lain. Kuncinya mungkin akan terletak pada kemampuan penalaran publik (public reason) untuk menilai berbagai pilihan kebijakan, dan karena itu pendidikan publik yang bebas dari hegemoni merupakan kebutuhan yang niscaya bagi pendekatan Pancasila sebagai konsensus
politis. Inilah pengertian penting dari Pancasila sebagai ideologi terbuka yang harus dikembangkan oleh penyelenggara negara dalam menjalankan kekuasaan.
Kita sekarang dapat menyebutkan sejumlah manfaat dari Pancasila sebagai konsepsi politis:
1. Pancasila sebagai konsepsi politis menawarkan jalan keluar bagi usaha menghindari otoritarianisme negara, dan usaha mengembangkan ‘pluralisme’ sebagai ciri permanen dari kebudayaan publik yang demokratis di Indonesia. (Sebagai konsepsi politis, Pancasila tidak membuka ruang bagi penggunaan kekuasaan negara yang bersifat memaksa (koersif) sebagaimana terjadi pada kasus ideologi sebagai doktrin yang komprehensif, karena konsepsi politis tidak beranggapan menerima doktrin komprehensif tertentu, sebaliknya, sebagai sebuah konsepsi politis Pancasila menghormati keberadaan doktrin-doktrin komprehensif, dan ini akan menghasilkan kesatuan (kohesi) sosial akibat dukungan yang diperoleh dari keragaman (diversity) doktrin-doktrin komprehensif yang ada dalam masyarakat).
2. Pancasila sebagai konsepsi politis memberikan jalan keluar dari kesulitan yang ada selama ini tentang jarak (diskrepansi) atau ketidakjelasan (yang sering dianggap sebagai masalah) antara ajaran Pancasila dan perkembangan sosial, politik dan ekonomi. (Pancasila sebagai konsepsi politis hanya berlaku pada domain politis (struktur dasar masyarakat) dari kehidupan bernegara; sementara keyakinan atau nilai lain yang mungkin ada di luar yang politis sebagaimana berlaku pada asosiasi, atau keluarga atau orang-perorang, tetap dibiarkan hidup dan harus dihormati perkembangannya oleh negara).
3. Pancasila sebagai konsepsi politis dapat memperkuat kebebasan, persamaan, dan hak-hak sipil dan politik dasar bagi warga negara yang hidup dalam sebuah negara, dan bersamaan dengan itu juga memperkuat gagasan fundamental tentang Pancasila sebagai dasar negara. (Gagasan fundamental tentang dasar negara ini tidak lain adalah gagasan tentang ‘arti penting konstitusional’ (constitutional essentials), yaitu prinsip-prinsip fundamental yang menentukan struktur dari proses politik—kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga peradilan, dan juga kebebasan, hak-hak sipil dan politik dasar yang harus dihormati oleh mayoritas legislatif, seperti hak ikut dalam pemilihan dan berpartisipasi dalam politik, kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat, dan juga perlindungan hukum. Jika Pancasila sebagai konsepsi politis dapat memberikan kerangka prinsip-prinsip dan nilai yang masuk akal untuk memecahkan masalahmasalah yang berhubungan dengan arti penting konstitusional (constitutional essentials) ini, maka besar kemungkinan bahwa keragaman dari doktrin-doktrin komprehensif yang ada dalam masyarakat akan mendukungnya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar