Sabtu, 05 Maret 2011


Makna Ideologi dan Ideologi Pancasila
Tetapi mengatakan bahwa Pancasila tidak seharusnya dianggap sebagai ideologi mengaburkan makna yang lebih kompleks dari konsep ideologi dan peranannya. Saya ingin menekankan bahwa yang ditolak adalah bukan Pancasila sebagai ideologi, melainkan pengertian ideologi Pancasila yang selama ini memperkuat otoritarianisme negara. Jadi, ideologi Pancasila tetap memiliki makna yang penting, dan menganggap Pancasila sebagai ideologi juga bukan tanpa dasar.
Marilah kita mulai dengan melihat satu fenomena menarik dalam perkembangan sejarah Pancasila. Faktanya adalah Pancasila yang dirumuskan dan dibentuk dalam rangkaian sidang-sidang BPUPKI dan PPKI menjelang dan setelah diumumkan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 memang telah mengalami perkembangan; Ia diinterpretasikan dan bahkan diimplementasikan oleh berbagai aktor dan kekuatan politik untuk mewarnai kehidupan berbangsa sepanjang sejarah Indonesia dengan caranya masing-masing. Eka Darmaputra mengatakan sebagai berikut :
Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia…negeri ini telah mengalami berbagai perubahan penting di dalam sistem politiknya; dari yang ‘liberal’ kepada bentuk yang ‘otoriter’ dan diberi nama ‘demokrasi terpimpin’; dari pemerintah sipil kepada pemerintahan militer; dari sistem kepartaian yang multi-mayoritas kepada sistem mayoritas tunggal ; dari ’Orde Lama’ ke ’Orde Baru’. Perubahan-perubahan ini adalah perubahan-perubahan yang cukup mendasar. Yang menarik adalah semuanya membenarkan diri atas nama Pancasila (1997).
Kenyataan ini sering diartikan, seperti dikatakan Clifford Geertz, bahwa Indonesia merupakan State Manque, dimana ’aspirasi yang satu ke aspirasi yang lain tak kunjung terpenuhi’ dan ‘bangsa Indonesia tetap saja tersandung-sandung dari satu sistem politik ke sistem politik lainnya’ (Geertz, 1973). Mochtar Pabotinggi menulis apakah seandainya Geertz menunggu duapuluh tahun ia akan tetap menempatkan Indonesia sebagai state manque ? (Pabotinggi, 1995). Dewasa ini, pada masa yang sering disebut dengan era reformasi, memang terjadi kembali perubahan yang meniscayakan transformasi nilai dan penyesuaian tatanan kelembagaan, meskipun demikian perubahan ini nampaknya disertai oleh kesadaran kolektif yang lebih percaya diri berkenaan dengan nilai-nilai yang melandasinya.
Karena itu, dalam melihat fenomena hubungan antara Pancasila dan perubahan-perubahan sistem politik sosial, dan ekonomi di Indonesia selama ini, penjelasannya, saya kira, sangat sederhana. Ada banyak cara yang menyebabkan orang bisa sampai pada kesimpulan yang sama dan kesimpulan yang berbeda-beda dapat diturunkan dari sumber doktrin atau ajaran yang sama. Inilah yang sebenarnya terjadi dibalik munculnya “praktek“ Pancasila yang berbeda-beda di Indonesia. Tetapi, fenomena semacam ini sebenarnya berlaku umum, bukan merupakan sesuatu yang khas Pancasila atau melulu terjadi di Indonesia. T.E. Utley dan J. Stuart Mclure mencatat kesaksiannya, seseorang menerima ajaran sosial dan politik kepausan tidak berarti mengatakan bahwa orang itu niscaya mengikuti arah tindakan sosial dan politik tertentu yang diambil langsung dari ajaran itu. Dalam kenyataannya penerimaan atas ajaran ini nampak sejalan dengan berbagai pandangan yang luas dan berbeda-beda berkenaan dengan masalah ekonomi, sosial dan konstitusional, dan sebaliknya, seseorang merupakan anggota Partai Buruh di Inggris tidak dengan sendirinya orang itu menerima semua atau sebagian besar doktrin-doktrin sosial dan ekonomi yang abstrak pada Partai itu (1956, p. 3).
Studi Douglas E. Ramage berjudul Politics in Indonesia : Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance (Routledge, London, 1995) juga memperjelas kesalahan ilusi bahwa Pancasila dapat disepakati sebagai sebuah doktrin yang akan menghasilkan pandangan tunggal tentang tatanan sosial, politik dan ekonomi. Ramage menunjukkan bahwa sejak Orde Baru Pancasila sebagai dasar negara tidak lagi dipersoalkan, dan perdebatan yang berkembang adalah mengenai makna dan implikasi Pancasila bagi struktur politik dan partisipasi warga negara dalam proses politik. Menurut Ramage, Pancasila memiliki fungsi tertentu, yaitu ’sebagai referensi ideologi yang potensial untuk [memecahkan] masalah-masalah fundamental dalam kehidupan nasional’ (dikutip dalam Ramage, 1994, p. 166).
Tetapi mengapa ideologi penting bagi sebuah masyarakat? Untuk menjawab pertanyaan ini, dua hal akan saya diskusikan, pertama, sebagai bahan perbandingan, ideologi Cina. Meskipun mungkin muncul keberatan karena ideologi komunis Cina justru menyarankan otoritarianisme yang tidak sejalan dengan ideal Pancasila, perbandingan ini berguna, karena ada kemiripan, yaitu, kedua ideologi berbasis domestik, dan nampak terancam oleh penetrasi dari luar. Sebagaimana ditunjukkan oleh para pengamat Cina, meskipun ideologi Cina mengalami transformasi dan bahkan mungkin mengalami krisis (sesuatu yang dirasakan oleh banyak orang juga terjadi pada Pancasila), ideologi tetap penting dalam sistem politik Cina. Kebudayaan tradisional menghargai tinggi kekuatan yang berenergi dan menyatukan dari nilai-nilai moral dan karena pengejaran atas aturan partai tunggal yang terpusat dalam sebuah negara dengan besarnya keragaman dari berbagai kepentingan yang saling bertentangan memperkuat kebutuhan akan implementasi aturan yang bersifat mengingatkan. Steven I. Levin menggarisbawahi pandangan ini dan mengatakan bahwa ’persepsi dan ideologi memainkan peranan dalam hubungan luar negeri setiap negara, dan Cina tentu saja bukan merupakan kekecualian dari aturan ini (1998, p. 45). Pandangan seperti ini
membantah anggapan yang menyatakan bahwa di luar liberalisme tidak lagi ada ideologi yang berpengaruh (Fukuyama, 1989). Pandangan para pengamat Cina yang lain seperti Doak Barnett dan Lucian Pye menyebutkan bahwa ideologi…harus diabaikan karena perilaku internasional Cina ditandai oleh ketiadaan perhatian akan konsistensi dan pragmatisme (dikutip dari Levine, 1989, p. 36). Dua contoh terakhir ini memang merayakan keruntuhan ideologi sebagai penentu nilai-nilai dan praktek sosial, tetapi kritik mengatakan bahwa perayaan itu didalam dirinya sendiri juga bersifat ideologis (Gauthier, 1997, p. 28)
Jadi, mengapa Pancasila sebagai ideologi tidak dapat ditolak, penjelasannya mirip dengan apa yang terjadi pada perkembangan ideologi komunis Cina. Seperti halnya ideologi komunis Cina, ideologi Pancasila (dan sesungguhnya juga semua ideologi) memiliki daya hidup. Ideologi penting karena dapat menjelaskan bagaimana sebuah masyarakat berpikir dan berperilaku (Hook, 1976). Dengan kata lain, ideologi selalu memiliki tempat dalam kesadaran, dan arti penting ideologi dapat dipahami jika kita bisa mengenali sifat permanen dari kesadaran itu, tanpa komitmen yang merendahkannya (Gauthier, 1997, p. 28). Sebagaimana kasus ideologi komunis Cina, kesadaran ini juga berarti dua hal. Pertama, Pancasila bisa dilihat sebagai ’ideologi informal’, yaitu ’kompleks dari nilai-nilai kebudayaan, preferensi, prasangka, kecenderungan, kebiasaan dan proposisi-proposisi yang tidak dinyatakan tetapi diterima luas mengenai realitas yang mengkondisikan cara bagaimana para aktor politik berperilaku (bandingkan, Foot, 1996, p. 267: see also Levin, 1998, p. 34-). Kedua, Pancasila juga bisa dilihat sebagai ‘ideologi formal’, yang jika pada kasus ideologi komunis Cina akan menunjuk pada pemikiran Marxisme-Leninisme-Mao Zedong, maka ideologi formal Pancasila juga menunjuk pada ‘bentuk pemikiran yang sistematis dan eksplisit, diformulasikan secara masuk akal dan diartikulasikan secara baik’ (bandingkan, Levine, 1998, p. 33).
Kedua, apa yang dinamakan politik identitas barangkali juga merupakan sebagian (jika bukan seluruh) persaingan antara ideologi formal dan ideologi informal. Peran ideologi formal, misalnya, akan memperkuat klaim bahwa setiap bangsa pasti memiliki identitasnya yang unik dan karena itu identitas ini dianggap bukan ilusi. Seperti halnya individu yang pada saat tertentu dalam kehidupannya akan merefleksikan siapa dirinya, setiap masyarakat juga memiliki identitas seperti yang terkandung dalam persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Tetapi, meskipun refleksi tentang diri sendiri ini merupakan bagian dari isi kesadaran, ideologi sebuah bangsa tidak bisa disamakan dengan isi kesadaran dalam bentuk rumusan ideologi formal, karena ada pemikiran dan aktivitas lain yang berkembang dalam masyarakat seperti nampak pada ideologi informal. Dengan kata lain, ideologi memang memberikan landasan bagi kesadaran diri seseorang, tetapi hal ini tidak menghalangi perbedaan, atau bahkan kontradiksi antara isi sub-struktur ideologi dan isi dari kesadaran yang dilahirkan (Gauthier, 1997, p. 28). Dengan demikian, tidak mungkin ada penilaian sederhana mengenai jenis elemen yang menentukan identitas nasional karena memang ada keragaman baik antar kebudayaan maupun dalam kebudayaan. Karena itu pula, identitas nasional dapat berubah dan merupakan pertentangan politik (Poole, 1999, p. 16). Meskipun demikian, ada semacam kerangka etis bagi politik identitas yang juga menjelaskan bagaimana persaingan antara ideologi formal dan ideologi formal seharusnya dikembangkan,

‘…Politik identitas tidak sama dengan penyusunan konsep identitas bangsa yang pemasyarakatannya tidak membuka ruang bagi masyarakat untuk ikut pada proses negosiasi dan renegosiasi makna’, sebaliknya, ‘politik identitas adalah refleksi yang berpangkal pada pertanyaan ‘siapakah aku, namun mengandung persoalan masyarakat dan budaya. Refleksi pada politik identitas ini bukan refleksi birokrat pemerintah atau refleksi beberapa cendikiawan yang dikumpulkan pemerintah. Refleksi ini merupakan himpunan ciptaan pada kegiatan budaya masyarakat yang tampil melalui pemikiran, teori, perdebatan, kesenian, bahkan komentar-komentar tentang isu besar di semua sektor’ (Jim Supangkat, Kompas 7 Novemper 2004, p. 17).
Uraian di atas menjelaskan bahwa Pancasila sebagai ideologi tetap memiliki makna tertentu.
Pada akhirnya, perbedaan pendapat tentang apakah Pancasila merupakan ideologi atau bukan, sebenarnya mudah didamaikan jika kita menerima bahwa memang ada perbedaan pemahaman tentang konsep ideologi sendiri, yang dapat ditelusuri dari sejarah pemikiran. Sering disarankan bahwa salah satu cara yang baik untuk memahami ideologi adalah dengan memahami sejarah istilah itu, yaitu dengan melihat perkembangan panjang dan berliku-liku dari istilah atau konsep ini sejak dikenal pertama kali dua abad yang lalu di Eropa (lihat misalnya, Jorge Lorrain, 1979; John B,. Thompson, 1990). Konsep ideologi, menurut sejarah perkembangannya, dapat dibedakan dalam dua pendekatan, pertama, pendekatan positif atau netral, yaitu ketika ideologi dipahami dalam pengertian yang murni deskriptif ; sebagai sistem pemikiran (system of thought), system kepercayaan (system of belief) atau sebagai praktek simbolik (symbolic practises). Ideologi dalam pengertian ini dianggap hadir dan menggerakkan tindakan atau rencana politik sehari-hari, tidak dipersoalkan apakah rencana atau program yang digerakkan dengan basis ideologi atau ajaran ini akan mengubah atau mempertahankan tatanan sosial (social order). Pendekatan kedua adalah pendekatan kritis, yaitu ketika ideologi dipahami sebagai sesuatu yang berhubungan dengan proses mempertahankan relasi kekuasaan yang tidak seimbang atau sebagai proses mempertahankan dominasi. Dengan demikian, ideologi di sini dilihat sebagai bukan secara apa adanya, tetapi selalu dianggap berhubungan dengan realitas sosial dan relasi kekuasaan.
Pancasila sebagai ideologi merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak, dan ini bisa menampakkan diri dalam pengertian formal atau informal. Menolak Pancasila sebagai ideologi tidak masuk akal, bukan hanya karena penolakan semacam ini bersifat ideologis, tetapi juga karena hal ini akan potensial mempersempit ’keleluasaan berpikir’ yang harus dijaga berdasarkan prinsip kebebasan, yang menyarankan bahwa kemauan setiap orang atau kelompok untuk mengartikulasikan dan merumuskan pemahaman tertentu tentang kehidupan harus tetap dikembangkan. Kebebasan berpikir merupakan hak termasuk elit penguasa yang memang berkepentingan dengan ideologi formal, maupun warga negara biasa dan masyarakat sipil yang berkepentingan dengan bagaimana kedua pengertian ideologi tersebut dalam praktek mempengaruhi kehidupan mereka. Sekali lagi, ideologi penting dan merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak karena dalam setiap masyarakat selalu diharapkan tersedia keberadaan sebuah struktur bersama yang terbentuk dari idea-idea dan karena itu, ‘salah satu fungsi penting dari lembaga sosial adalah mempertahankan dan menyebarkan ideologi bersama (common ideology) diantara mereka yang membentuk sebuah masyarakat’ (Gauthier, p. 28)
Masalahnya memang bagaimana mengembangkan ideologi agar tidak melanggengkan dan memperkuat kekuasaan negara yang totaliter dan otoritarian. Ini merupakan pertanyaan yang akan saya bahas selanjutnya, meskipun perlu ditambahkan juga bahwa masalah yang dihadapi masyarakat modern dan majemuk seperti di Indonesia dewasa ini bukan hanya warisan otoritarianisme negara. Kita juga sedang dan akan dihadapkan pada masalah bagaimana mengembangkan masyarakat Indonesia yang adil dan stabil dengan persamaan dan kebebasan yang besar bagi seluruh warga negara yang masing-masing memiliki doktrin moral, kefilsafatan dan keagamaan, yang komprehensif dan masuk akal (reasonable) tetapi tidak bisa disatukan (incompatible).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar