Sabtu, 05 Maret 2011

Ideologi Pancasila


Pendahuluan
Status Pancasila, apakah merupakan ideologi atau bukan, masih menimbulkan tanggapan berbeda di kalangan ilmuwan. Di satu pihak, ada yang berpendapat bahwa Pancasila tidak seharusnya dianggap sebagai ideologi, seperti terlihat pada pendapat Ongkhokham, Armahedy Mahzar, Garin Nugroho, dan Franz Magnis Suseno. Menurut Onghokham Pancasila jelas merupakan ’dokumen politik, bukan falsafah atau ideologi’, dan harus dilihat sebagai kontrak sosial, yaitu kompromi atau persetujuan sesama warga negara tentang asas-asas negara baru yang dapat disamakan dengan dokumen-dokumen penting negara lain seperti Magna Carta di Inggris, Bill of Rights di Amerika Serikat dan Droit del’homme di Perancis (Kompas, 6 Desember 2001).
Armahedy Mahzar melihat Pancasila sebagai ideologi menyebabkan monointerpretasi terhadap Pancasila oleh penguasa, sementara Garin menilai bahwa Pancasila dijadikan alat untuk menciptakan industrialisasi monokultur yang berakibat terjadinya sentralisasi (www.mamienrais.com, 20 Oktober 2004). Keduanya berpendapat bahwa Pancasila tidak bolehlagi menjadi sekadar ideologi politik negara, melainkan harus berkembang menjadi paradigma peradaban global (Kompas, 20 Juni 2003). Franz Magnis Suseno menyatakan, ‘Pancasila….lebih tepat disebut kerangka nilai atau cita-cita luhur bangsa Indonesia secara keseluruhan daripada sebuah ideologi’ (Kompas 28 April 2000).
Di pihak lain, anggapan bahwa Pancasila merupakan ideologi, baik dalam pengertian ideologi negara, atau ideologi bangsa masih dipertahankan oleh komentator lain. Pendapat mereka bukan merupakan tanggapan langsung terhadap pendapat yang menolak Pancasila sebagai ideologi. Ini terlihat pada pandangan Koentowijoyo (Kompas, 13 Juli 1999 ; 20 Februari 2001), Azyumardi Azra, Asvi Warman Adam dan Budiarto Danujaya (dalam Kompas 23 Juni 2004 ; 9 Juni 2004 ; 1 Juni 2004), James Dananjaya (Kompas, 28 Juni 2002), dan Asy’ari (Kompas, 12 Juni 2004). Patut dicatat bahwa pendapat yang bertolak belakang tentang Pancasila itu muncul sebagai bagian dari kekecewaan terhadap perkembangan Pancasila selama ini, yaitu terhadap interpretasi dan pelaksanaan Pancasila di bawah rezim-rezim pemerintah Indonesia sebelumnya. Dengan kata lain, kedua kubu yang memberikan penilaian berbeda tentang status Pancasila tersebut masing-masing meletakkan analisisnya dalam kerangka evaluasi terhadap perkembangan Pancasila seperti yang dipraktekkan pada jaman Orde Lama di bawah kekuasaan Soekarno dan Orde Baru di bawah kekuasaan Suharto.
Tulisan ini akan menengahi perbedaan pendapat tersebut. Akan ditunjukkan bahwa memang ada kesalahan serius dalam cara pemerintah selama ini memahami ideologi, dan karena itu ada alasan untuk bersimpati dengan mereka yang menyarankan bahwa Pancasila tidak seharusnya dianggap sebagai ideologi. Tetapi, mereka yang mempertahankan pendapat bahwa Pancasila adalah ideologi juga memiliki pembenaran dan saya akan memberikan pembelaan terhadap posisi pandangan ini. Kedua pendapat yang saling bertentangan itu sebenarnya menyarankan hal yang sama, yaitu perlunya cara pandang baru terhadap Pancasila, dan saya mengusulkan pemisahan pengertian Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif dari pengertian Pancasila sebagai konsepsi politis.
Pada bagian pertama akan dibahas ’Kesalahan Persepsi tentang Ideologi’ untuk menunjukkan kesalahapahaman pemerintah selama ini berkenaan dengan ideologi Pancasila. Pada bagian kedua, akan dibahas ‘Makna Ideologi dan Ideologi Pancasila’ untuk menjelaskan mengapa ideologi penting, dan mengapa Pancasila tetap dapat dianggap sebagai ideologi. Pada akhirnya, ’Cara pandang baru terhadap Pancasila’ akan diuraikan dengan membedakan pengertian Pancasila sebagai konsepsi politis dari pengertian Pancasila sebagai konsepsi kefilsafatan atau doktrin yang komprehensif.

Kesalahan Persepsi tentang Ideologi
Memang ada kesalahan serius dalam cara pemerintah selama ini memahami Pancasila.
Pancasila telah ditafsirkan sedemikian rupa sehingga membenarkan dan memperkuat otoritarianisme negara. Salah satu ciri kekuasaan yang otoriter dimanapun adalah selalu menganggap ideologi sebagai maha penting yang berhubungan erat dengan stabilitas atau kohesi sosial. Tetapi asumsi bahwa usaha menyeragamkan ideologi penting demi menciptakan stabilitas dan memperkuat kohesi masyarakat adalah menyesatkan,
‘ideologi bekerja seperti sejenis semen sosial, yang mengikat kesatuan anggota masyarakat dengan menyediakan nilai dan norma yang dihayati secara bersama…namun meskipun asumsi ini diterima luas, asumsi ini sangat bermasalah. Terdapat sedikit bukti yang menyarankan bahwa kepercayaan dan nilai tertentu dihayati oleh semua (atau bahkan sebagian besar) anggotamasyarakat industri modern. Sebaliknya, nampak lebih mungkin bahwa masyarakat kita, sejauh ia merupakan tatanan sosial yang ‘stabil’, distabilkan oleh akibat kemajemukan nilai dan kepercayaan dan perkembangbiakan dari pembagian individu dan kelompok. Stabilitas masyarakat kita mungkin bergantung, bukan terutama pada konsensus berkenaan dengan nilai dan norma yang khusus, tetapi pada ketiadaan konsensus ketika sikap-sikap oposisi dapa diterjemahkan ke dalam tindakan politik’ (Thompson, 1984, p. 5).
Rezim totalitarian seperti Nazi Jerman, Fasisme Italia dan Jepang, dan negara-negara komunis pernah mengembangkan sejenis ideologi sekuler yang merupakan weltanschaung, yang dianggap mengatasi kehidupan bersama dan dipaksakan berlakunya melalui aparatur-aparatur negara. Ideologi itu menjadi landasan doktrin negara yang ditentukan secara otoritatif, sebagai pernyataan resmi yang seluruh warga negara berkewajiban menerimanya (Utley and McLure, 1956, p. 2).
Tetapi pengertian ideologi yang dibangun sebagai sistem pemikiran bersama (collective thought) bukan hanya monopoli rezim-rezim totalitarian dengan ideologinya yang sekuler. Disamping ideologi sekuler, juga terdapat ideologi non-sekuler, yakni ideologi keagamaan, yang merupakan konsepsi kefilsafatan atau doktrin komprehensif, yakni sumber kebenaran dan kebaikan yang lengkap dan berlaku universal (Rawls 1996, xxxviii). Dalam semua tipe masyarakat yang diperintah oleh rezim dengan pemahaman ideologi semacam ini, hak masyarakat untuk berbeda pendapat dengan pandangan yang dominan ditekan. Tetapi, sejarah justru membuktikan bahwa dalam masyarakat yang hak-haknya untuk menentang kekuasaan ditolak atas nama ketertiban dan stabilitas, hasilnya justru bukan stabilitas dan kohesi masyarakat yang kuat. Pemberontakan bersenjata, penyingkiran berdarah, konspirasi dan kekerasan yang menjalar dari satu ekstrim ke ekstrim yang lain selalu terjadi—ini merupakan rekaman politik yang dapat disaksikan terutama di Jerman dan dalam hal tertentu di Jepang (Ebenstein, 1960, p. 128).
Di Indonesia, ideologi juga memiliki kecenderungan untuk dikembangkan sebagai doktrin yang komprehensif. Dua hal bisa dilihat untuk memahami hal ini, pertama, pada pemahaman tentang hubungan Pancasila dengan norma dan nilai, dan kedua, pada anggapan bahwa Pancasila dapat dikembangkan sebagai ilmu.
Pertama, pandangan dominan yang dipercaya oleh pemerintah, terutama pemerintah Orde Baru adalah bahwa Pancasila merupakan sumber norma dan nilai. Pancasila adalah sistem kepercayaan atau ideologi yang menentukan bagaimana sesuatu seharusnya. Tipe sistem politik dan karena itu struktur dominasi juga dikembangkan dari pemahaman ideologi Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif ini. Dalam ungkapan Langenberg (1990), Orde Baru adalah negara dan sekaligus sistem negara (pemerintahan eksekutif, militer, polisi, parlemen, birokrasi, dan pengadilan), yang sejak 1965/1966 membangun hegemoni dengan formulasi ideologi sebagai tiang penyangganya.
Struktur dominasi dan hegemoni negara Orde Baru sendiri tidak dapat dipahami secara persis kecuali jika ketotalan ’integralistik’ dari negara—yakni negara sebagai ’ide’ (ideologi) dan ’instrumen’ (sistem/kebajikan) berinteraksi dengan struktur dan proses kekuasaan, legitimasi, dan akumulasi itu sendiri dipahami’. Implikasi dari formulasi ideologi Pancasila sebagai totalitas organik ini terlihat, misalnya, sejak 1985 seluruh organisasi sosial politik digiring oleh hukum untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya dasar filosofis, sebagai asas tunggal dan setiap warga negara yang mengabaikan Pancasila atau setiap organisasi sosial yang menolak Pancasila sebagai asas tunggal akan dicap sebagai penghianat atau penghasut, sehingga, “cap durhaka“ itu telah meluas tak hanya tuduhan subversif sebagaimana kerap dialamatkan pada komunisme atau ide negara Islam, melainkan mencakup segala hal yang berbeda pendapat dengan ideologi negara (Van Langenberg, 1990, p. 123).
Menurut pandangan yang [pernah] berlaku ini, sebagai sumber nilai dan norma, Pancasila kemudian menjadi peraturan normatif masyarakat dan diusahakan agar menjadi konsensus bersama. Nilai moral yang terinternalisasi dapat menimbulkan dampak yang kuat dalam menentukan tujuan dan sarana untuk mencapainya. Pelembagaan Pancasila dalam masyarakat melalui sistem nilai yang terpusat, misalnya, melalui penataran P4, dianggap menyumbang kohesi dan stabilitas sosial, dan pada gilirannya, mengarahkan pada kesepakatan tentang aturan yang menentukan kekuasaan negara dan kegunaannya. Tetapi, formulasi bahwa ideologi Pancasila yang dipahami sebagai doktrin komprehensif dalam arti ajaran lengkap tentang bagaimana anggota-anggota masyarakat seharusnya berperilaku adalah sangat problematis. Memahami nilai dan norma sedemikian rupa sehingga seolah-olah hal itu harus ditangani secara terpusat demi menjaga kohesi sosial mengandung tiga keterbatasan, sebagaimana ditunjukkan Muthiah Alagappa.
Pertama, formulasi itu melebih-lebihkan peranan norma dalam mengatur perilaku. Tidak semua perilaku diatur oleh kepercayaan normatif. Perilaku orang sehari-hari mungkin didasarkan lebih pada kebiasaan, pragmatisme dan manfaat daripada komitmen pada tujuan normatif…Kedua, rumusan itu gagal mempertimbangkan sifat asimetri kekuasaan dan implikasinya bagi legitimasi. Kekuasaan memiliki potensi besar untuk mengabsahkan dirinya sendiri… Ketiga, penekanan pada konsensus mengaburkan kehadiran konflik dalam masyarakat. Nilai dan norma yang dialami bersama tidak semata-mata didapatkan, melainkan harus diciptakan (Alagappa, 1995, p. 15-16)
Kedua, Pancasila dapat dikembangkan sebagai ilmu. Koentowijoyo merupakan salah satu cendekiawan yang mempercayai anggapan ini (lihat, Kompas, 21 Februari 2001; Suara Merdeka 26 Januari 2001). Sebagai ilmu Pancasila adalah filsafat sosial, cara pandang negara terhadap gejala-gejala sosial, dan dari filsafat sosial dapat diturunkan menjadi teori sosial, yang juga memiliki metodologinya. Namun, pandangan semacam ini bukan tanpa kritik dan saya ingin mempertahankan inti dari kritik ini, bahwa pandangan ini dapat memperkuat ideologisasi Pancasila menjadi doktrin yang komprehensif. Dalam bahasa pengkritiknya, bisa terjadi bahwa perwujudan gagasan menjadikan ’Pancasila sebagai ilmu’ tidak lain adalah Pancasila menjadi satu-satunya alam berpikir dan dipaksakan menyeruak ke segenap aspek kehidupan…(Budiarto Danujaya, Kompas, 23 Juni 2004). Sebagai tambahan, ideologisasi ilmu bukan monopoli pemerintah di Indonesia, karena seorang negarawan Uni Soviet semacam Lenin juga melakukannya dengan membuat secorak ideologi komunisme yang kerap disebut sebagai Marxisme ilmiah sebagai garis resmi Partai Komunis, yang harus menjadi haluan dan norma terakhir bagi kebenaran ilmu, politik dan moral. Jadi ’ideologi Pancasila bukan ilmu dan tidak mungkin dianggap sebagai ilmu’ (Ibid, Kompas, 23 Juni 2004).
Saya melihat bahwa ini kritik yang penting, meskipun perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud Koentowijoyo dengan menjadikan Pancasila sebagai ilmu nampaknya adalah memperlakukan Pancasila sebagai filsafat sosial. Masalahnya barangkali karena asal mula prinsip-prinsip Pancasila sendiri merupakan gabungan dari berbagai ragam aliran filsafat sosial, dan prinsip-prinsip Pancasila juga tidak menampakkan sebagai alternatif baru dari bentuk-bentuk filsafat sosial yang telah berkembang. Hal ini jelas, meskipun dalam pidatonya Soekarno menyatakan bahwa Pancasila bukan kreasi dirinya, melainkan sebuah konsep yang berakar pada budaya masyarakat Indonesia yang terkubur selama 350 tahun masa penjajahan, tetapi sebagian ilmuwan meragukan bahwa Pancasila merupakan konsep yang benar-benar produk indigenous, dengan alasan bahwa pidato Pancasila Soekarno terlihat sebagai hasil kombinasi dari gagasan pemikiran yang diimpor dari Eropa, yakni humanisme, sosialisme, nasionalisme, dikombinasikan dengan Islamisme yang berasal dari gerakan Islam modern di Timur Tengah, dan dalam konteks politik saat itu, Pancasila ditawarkan sebagai upaya rekonsiliasi antara kaum nasionalis-sekuler dan nasionalis-Islamis (Sulfikar Amir, 2004).
Kecenderungan Pancasila menjadi doktrin yang komprehensif yang terlihat, pertama, pada anggapan bahwa ideologi berhubungan erat dengan stabilitas dan kohesi masyarakat, dan kedua, pada anggapan bahwa ideologi sebagai sumber nilai dan norma dan karena itu harus ditangani (melalui upaya indoktrinasi) secara terpusat, semuanya, pada akhirnya, akan bermuara pada atau menghasilkan perfeksionisme negara. Negara perfeksionis adalah negara yang merasa tahu apa yang benar dan apa yang salah bagi masyarakatnya dan kemudian melakukan usaha-usaha sistematis agar ‘kebenaran’ yang dipahami negara itu dapat diberlakukan dalam masyarakatnya. Munculnya pemerintahan elit politik yang totaliter, menurut Franz Magnis Suseno, terjadi karena kategori paham benar-salah telah diselundupkan ke dalam politik praktis (Suseno, Kompas, 28 April 2000). Pengertian negara perfeksionis juga berhubungan dengan dan memperkuat struktur masyarakat yang paternalistik, karena negara berperan sebagai patron nilai-nilai kebaikan, sehingga berkembanglah dalam negara semacam ini suatu struktur hierarkis yang menyerupai struktur keluarga, yakni Bapak atau Orang Tua merasa tahu apa yang terbaik bagi anak-anaknya. Negara komunis merupakan salah satu contoh dari bentuk perfeksionisme negara ini, karena rezim komunisme, seperti semua rezim yang didasarkan pada doktrin-doktrin komprehensif, memiliki sistem ajaran tentang apa yang baik dan yang buruk, apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh anggota-anggotanya masyarakatnya. Jika anda hidup dalam rezim komunis anda akan disarankan untuk menghindari kerja yang mengalienasi, misalnya, karena kerja semacam ini bukan merupakan pilihan yang ‘baik’, tetapi justru sesuatu yang harus dihindari (Kymlicka, 2004, p. 200). Tidak perlu dikatakan bahwa pandangan semacam ini pada akhirnya akan bermuara pada otoritarianisme negara. Dan inilah latarbelakang yang menjelaskan mengapa sebagian orang melihat bahwa Pancasila tidak seharusnya dianggap sebagai ideologi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar